il dimenticato persone ala grande Radhiet

Rabu, 06 Juni 2012

Antara Evaluasi, Ilusi, dan Resolusi


Berkaca Pada Telapak Kaki


Ketika aku menyusun sedemikian rupa resolusi kesekian kalinya di Januari lalu, hal pertama yang ku lakukan adalah melihat kembali jejak-jejak langkah kehidupan di fase tahun sebelumnya. Aku sudah melontar lebih jauh kebelakang. Tidak boleh terlalu lama, iya!!! karena evaluasi bukan untuk terlelap di masa lalu.

Ibarat sebuah lompatan, aku membutuhkan ancang-ancang atau awalan agar ada hentakan poros through bagi tubuh ini untuk meloncat kedepan lebih jauh lagi. Pada saat pengambilan ancang-ancang itulah aku sudah mengambil langkah mundur ke belakang.

Mungkin demikian halnya dengan evaluasi untuk resolusi, aku memang sangat butuh untuk berkaca pada telapak kaki kehidupan ini yang telah mencatatkan banyak amal perbuatan, untuk kemudian segera melangkah dengan lebih baik.

Ketika ku berusaha untuk evaluasi (muhasabah) tersebut mempersulit harapan ku untuk membuat rencana tambahan di resolusi baru. 

Apa Sebabnya ?, ternyata masih banyak hal dari rencana sebelumnya yang terlaksanakan sesuai harapan.

Haruskah aku meninggalkan rencana sebelumnya yang belum terlaksanakan sesuai harapan untuk menambah rencana jangka panjang baru ?

Sepertinya tidak, ibarat pepatah aku tidak bisa menggenggam pasir dengan menggunakan kedua siku ini. Evaluasi tersebut harus ku genapkan dengan meragap kemampuan diri. Aku harus menyimbangkan antara optimis dan realistis.

Terlalu mengandalkan logika kah aku?

Entahlah, Aku hanya bisa menyimpulkan kalau banyak harapan ku yang tidak terwujud karena justru aku merasa masih belum melogiskan tindakan, alias masih belum proforsional.

Banyak hal baik mungkin yang terjadi diluar logika, tapi itu adalah sisi lain keajaiban dari kekuasaan Allah SWT.

Dan Aku-pun Malu

Sempat terpikir dalam benak ini untuk merencanakan semua itu, khayalan yang melebihi batas kewajaran akan kemampuan diri ku ini. Mungkin itulah yang disebut dengan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Dan itu terpikirkan ketika aku belum melihat catatan memori kebelakang, catatan tentang harapan ku dulu di tahun 2011 dan 2010 yang hampir memupus cita-cita ku, 2009 dengan harapan-harapan indah pertama ku arungi seorang diri, dan 2008 Terotorial yang menjadi keputusan klop untuk berpisah dengan seperjuangan di kampung, Hingga terus kebelakang.

Hampir saja aku lupa, kalau setiap cita-cita itu butuh proses. Proses yang bisa panjang dan juga singkat. Hampir aku lupa, kalau resolusi sebelumnya juga butuh waktu yang mungkin melewati saat ini. Sekarang sudah dipertenganhan tahun ku berpijak. Empat bulan menuju kepastian semu.

Sungguh aku benar-benar merasa malu kepada Tuhan,  belum juga rencana sebelumnya dilaksanakan sepenuhnya , sudah mengajukan kembali “proposal khayalan” di momentum waktu yang baru.


Wahai il Deminticato, aku sadar tidak pernahku berharap lebih di 28 September nanti untuk melihat senyum asli ku yang terhalang langit hitam. sepertinya aku harus tanpa rencana tambahan lagi kecuali rencana-rencana pelengkap yang harus dibuat untuk mewujudkan mimpi-mimpi sebelumnya yang belum terwujudkan. Karena hidup ini seperti efek domino yang selalu berantai sampai antara aku atau iblis yang kalah, mungkin demikian halnya juga dengan resolusi. Resolusiku harus lahir dari misi dan evaluasi, bukan ilusi.



#Catatan diary Alessio Radhietya Bohadjirma pada januari 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar